30 April 2009

Menanti Pemimpin Bijak

Pemilu legislatif telah usai. Penghitungan suara belum juga kelar sampai detik ini. Kisruh Daftar Pemilih Tetap dimana-mana. Protes berkurangnya suara dan isu penggelembungan suara dari partai tertentu ramai dibicarakan.

Isu pemilu layaknya barang dagangan yang laku bak kacang goreng. Ada yang merasa dicurangi di pemilu legislatif lalu. Tapi ada yang berseloroh, kalau dia protes dicurangi karena dia kalah curang.

Sementara partai-partai peraih kursi di DPRD dan DPR mulai ramai “bersilaturahmi” ke sana sini. Tentu saja dengan membawa misi masing-masing partai. Ibarat berdagang, “silaturahmi” itu dihitung untung ruginya. Terlepas dari itu semua, sebagai warga negara Indonesia, masih terbersit harapan pada siapapun yang kelak terpilih memimpin negeri ini agar memberikan perubahan dan membawa Indonesia lebih sejahtera. Semoga.

07 April 2009

Mengenal Sosok Jalaludin Rumi

Jika anda penikmat sastra, tentu tak asing dengan nama Jalaludin Rumi. Sang Penyair sufistik ini seakan melegenda dengan bukunya MASTNAWI dan tarian mistiknya yaitu WHIRLING DERVISH DANCE atau Tarian Sama’

Jalaludin Rumi lahir pada tanggal 30 September 1207 di Balkh, kota kecil di Khurasan Iran dan kini menjadi bagian Afganistan. Ibunda Rumi masih keturunan ningrat dari Kwarazm dan ayahandanya adalah seorang cendekia yang shaleh dan dihormati. Rumi meninggalkan Balkh menuju Khurasan tepatnya di Nishapur pada usia 3 tahun dikarenakan konflik kerajaan saat itu. Dari sinilah kesufiannya dimulai. Rumi bertemu dengan Fariduddin Attar, seorang sufi yang meramalkan bahwa Rumi kelak akan termashur.

Rumi adalah seorang pemikir, terbukti dari buku-buku filsafat koleksinya yang pernah dibuang ke sumur oleh Syamsi Tabriz, seorang sufi yang kelak menjadi gurunya. Tentu perasaan Rumi sangat marah ketika bukunya dibuang. Dengan tenangnya, Syamsi Tabriz mengambil buku itu kembali dari sumur. Anehnya, buku-buku itu tidak basah dan sobek sedikitpun. Dari kejadian inilah akhirnya Rumi berguru kepada Syamsi Tabriz yang kelak mengubah jalan hidupnya.

Guru dan murid ini begitu akrabnya hingga menimbulkan keirian. Sampai suatu saat, Syamsi Tabriz menghilang. Rumi mengutus anaknya untuk mencari Syamsi Tabriz, yang ia gambarkan sebagai mataharinya. Gurunya berhasil ditemukan, akan tetapi isu miring terus terdengar dan akhirnya Syamsi Tabriz benar-benar menghilang. Hal ini menjadikan Rumi sangat bersedih dan dia menarik diri dari hingar bingar dunia. Sejak saat itu, Rumi banyak menulis puisi untuk Sang Guru yang dirangkum dalam Diwan-i Syams-i Tabriz (Lirik-lirik Syamsi Tabriz). Puisi ini merupakan persembahan rohani bagi sahabat sekaligus guru spiritualnya yang telah pergi tanpa jejak.

Adapun kumpulan puisi Rumi dibukukan dalam al-Matsnawi al-Maknawi yang konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan kekuatannya. Dalam kumpulan puisi ini juga digambarkan “protes” Rumi terhadap orang-orang yang mengagungkan rasio dan menafikan perasaan.

Berikut adalah salah satu karya Rumi yang termashur:
”Jangan tanya apa agamaku. Aku bukan Yahudi. Bukan Zoroaster. Bukan pula Islam. Karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku.”

Membaca puisi Rumi, seakan ada sensasi tersendiri. Pantaslah demikian! Meski pengungkapannya laksana samudra kata-kata, akan tetapi puisi Rumi yang merupakan pengalaman spiritualnya tetap “unexplainable”. Layaknya pengalaman spiritual pada umumnya, itu harus dialami dan dirasakan sendiri. Pengalaman spiritual Rumi membuatnya diselimuti cinta Ilahiah yang teramat dahsyat. Kerinduannya pada alam asalnya begitu besar sehingga dia membuat 40.000 puisi! Simaklah salah satu karyanya berikut ini:

DIA TIDAK DI TEMPAT LAIN
Salib dan ummat Kristen, ujung ke ujung, sudah kuuji.
Dia tidak di Salib.Aku pergi ke kuil Hindu, ke pagoda kuno.
Tidak ada tanda apa pun di dalamnya.
Menuju ke pegunungan Herat aku melangkah,dan ke Kandahar Aku memandang.
Dia tidak di dataran tinggimaupun dataran rendah.
Dengan tegas,aku pergi ke puncak gunung Kaf (yang menakjubkan).
Di sana cuma ada tempat tinggal(legenda) burung Anqa.
Aku pergi ke Ka'bah di Mekkah.Dia tidak ada di sana.
Aku menanyakannya kepada Avicenna (lbnu Sina) sang filosuf
Dia ada di luar jangkauan Avicenna ...
Aku melihat ke dalam hatiku sendiri.
Di situlah, tempatnya, aku melihat diriNya.
Dia tidak di tempat lain.

Disamping tema puisinya yang beragam, Rumi juga menggunakan perlambang untuk memaknai makhluk cintaanNya. Salah satunya dituangkan dalam puisi berikut ini:

Di mata orang arif, Langit adalah lelaki dan Bumi adalah perempuan
Bumi menerima saja apa yang diturunkan Langit ke haribaan dan rahimnya
Jika bumi kurang panas, Langit mengirimkan panas
Jika bumi kurang segar, Langit menyegarkan bumi yang lembab
Langit berputar menurut sumbunya, bagaikan suami mencari nafkah bagi istrinya
Dan Bumi sibuk mengurus rumah: ia menunggui dan menyusui bayi yang dilahirkan…
Tanpa Bumi apakah Langit bisa menghasilkan air dan panas?….
Benarlah demikian. Bukankah semua yang diciptakanNya berpasangan?
Jalaludin Rumi dihormati dan dikagumi. Apa pendapat para pakar dan pengagum karyanya? Simak saja:

"Dialah penyair mistik terbesar sepanjang zaman," kata orientalis Inggris Reynold A Nicholson.
"Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci," seru Jami, penyair Persia Klasik, tentang karya Rumi, Matsnawi.
Gandhi pernah mengutip kata-katanya.
Rembrandt mengabadikannya di kanvas.
Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair Pakistan, sekali waktu pernah berdendang, "Maulana mengubah tanah menjadi madu…. Aku mabuk oleh anggurnya; aku hidup dari napasnya."
Bahkan, Paus Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan khusus: "Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala penuh hormat mengenang Rumi."


Rumi menghabiskan hidupnya dalam dunia kesufian. Banyak sudah pengikutnya yang tergabung dalam Tarekat Maulawiyah. Jalaludin Rumi adalah nama yang abadi sepanjang jaman. Sang Mistikus Sufi meninggal dalam usia 68 tahun pada tanggal 17 Desember 1273dan diantar para sahabatnya dari umat Muslim, Nasrani dan Zoroaster. Renungkanlah senandung Rumi:
"Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit."