27 Desember 2010

"Duel Maut" Indonesia-Malaysia

Hingar bingar pertandingan sepakbola AFF Suzuki Cup 2010 masih kental terasa. Babak final Leg-1 yang ditunggu-tunggu tergelar sudah di Malaysia kemarin namun sayang, Indonesia harus menelan pil pahit dengan skor telak 0-3 untuk Indonesia-Malaysia.

Harus diakui kalau pemain Malaysia bermain cantik dengan memberikan pressure terus menerus ke gawang Indonesia. Permainan agresif dari Malaysia tidak di imbangi oleh para pemain dari Indonesia yang terkesan defensif saja. Hampir 80 % bola dikuasai pemain Malaysia seakan-akan pemain Indonesia “dipaksa” mengikuti alur mereka.

Patut menjadi catatan penting perhal lini belakang Indonesia yang terlihat “lemah” sehingga di serang habis-habisan sampai kebobolan 3 gol (kasihan kipernya). Tak perlu mencari kambing hitam. Kekalahan ini layak menjadi pelajaran agar Timnas Indonesia agar terpacu bermain lebih baik lagi dan mempersembahkan yang terbaik untuk negeri tercinta. Kita tunggu "duel maut" leg-2 besok rabu di GBK. Timnas Indonesia, tunjukkan performa terbaikmu.

BRAVO TIMNAS INDONESIA!!!

26 November 2010

Puisi Rumi

KAU DAN AKU

Nikmati waktu selagi kita duduk di punjung

Kau dan Aku;

Dalam dua bentuk dan dua wajah — dengan satu jiwa,

Kau dan Aku.



Warna-warni taman dan nyanyian burung memberi obat keabadian

Seketika kita menuju ke kebun buah-buahan, Kau dan Aku.

Bintang-bintang Surga keluar memandang kita –

Kita akan menunjukkan Bulan pada mereka, Kau dan Aku.



Kau dan Aku, dengan tiada ‘Kau’ atau ‘Aku’,

akan menjadi satu melalui rasa kita;

Bahagia, aman dari omong-kosong, Kau dan Aku.

Burung nuri yang ceria dari surga akan iri pada kita –



Ketika kita akan tertawa sedemikian rupa; Kau dan Aku.

Ini aneh, bahwa Kau dan Aku, di sudut sini …

Keduanya dalam satu nafas di Iraq, dan di Khurasan –

Kau dan Aku.


~ Jalaluddin Rumi ~

29 Oktober 2010

Galau Merapi

Langit tanpa bintang

Mendung bergelayut riang

Bulan enggan menyapa

Malam kian menghampa


Pandangku jatuh di horizon

Semburat merah terkesan indah

Mengalir tenang dan pelan

Melumat yang terlewat bak air bah


Saat nafas kau hembuskan

Kami rasai panas tubuhmu

Ketika tangis darah kau lelehkan

Kami kenali kesedihanmu


Putihnya awan tanda sakitmu

Memilukanku

Merah air matamu

Menakutkanku


Tuhan…

Tolong dengarkanlah jerit tanpa suara ini

Mohon sembuhkanlah sakitnya

Tolong sudahi kesedihannya


Sesaat kurasa tubuhku serasa melayang diatas horizon

Kulihat seorang kakek bermuram durja

Kudekati dan bertanya mengapa

Kakek berpesan

“Sampaikan pada para pemimpin negeri, betindaklah benar agar alam tenteram”


Oleh Vianbonnie

Solo, 27 Oktober 2010

27 Oktober 2010

Merapi Meletus!

Indonesia di guncang bencana. Setelah sebelumnya tersiar kabar terjadinya gempa diikuti oleh tsumani di Mentawai yang memakan ratusan korban, kini kabar meletusnya gunung berapi teraktif di dunia santer terdengar sejak kemarin. Hari selasa 27 Oktober 2010 pukul 17.02 WIB, gunung merapi meletus yang ditandai keluarnya awan panas atau penduduk lokal menyebutnya wedhus gembel.

Menurut laporan Surono telah terjadi erupsi gunung Merapi mulai pukul 17.02 WIB selama 9 menit dan terus bererupsi sampai pukul 18.21.

Akibat erupsi tersebut, dilaporkan bahwa sejumlah orang lemas dan mengalami luka bakar. Sementara itu, seorang aktifis menemukan rumah Mbah Marijan sudah dipenuhi abu vulkanik, pohon-pohon tumbang dan terbakar. Belasan orang tewas di sekitar rumah Mbah Maridjan di dusun Kinahrejo Cangkringan Sleman Jogjakarta. Jenazah Mbah Mardjan ditemukan pada pukul 05.00 WIB dalam posisi sujud di dekat rumahnya.

Petugas kamar jenazah Rumah Sakit Sardjito memastikan hal tersebut sehari setelah menerima jenazah tersebut. Sugeng tindak Mbah Maridjan. Empati dari lubuk hati yang terdalam untuk para korban erupsi Merapi. Dan juga untuk ratusan korban Tsunami di Mentawai yang terjadi sebelum bencana merapi.

Let’s pray for Indonesia.

09 Oktober 2010

MOTIF

Ketika seseorang bertanya kepadaku “Adakah kau rasa bahwa apa yang kau rasa selama ini mendekati kebenaran?”

Aku bertanya, “Rasa apakah itu?”

Dia menjawab, “Motif”

Ya, ini berkenaan dengan motif atau sesuatu yang melatarbelakangi tindakan seseorang yang kalau dirasakan sepertinya mengerucut ke arah “kebenaran.”

Adakah motif yang melatarbelakangi seseorang bekerja?

Adakah motif seseorang memberikan bantuan?

Adakah motif seseorang mencuri?

Sampai dengan urusan ibadah sekalipun, Adakah motif seseorang berpuasa, shodaqoh dan dzikir?

Apa jadinya jika motif seseorang melakukan sesuatu ternyata lebih dominan atau bisa jadi justru sebaliknya. Hanya diri sendiri yang tau jawabnya. Mari kita renungkan, rasakan dan temukan jawabnya dari lubuk hati terdalam.

Solo, 23 Oktober 2009

09 September 2010

FITRI HATI SEBENING EMBUN

Kidung takbir menghiasi malam syahdu

Dalam gema pujian ke-MahaanMu

Mengalun indah dan merdu

Merasuk dalam kalbu


Syukur terucap tiada henti

Atas limpahan nikmat dan rizki

Wahai Maha Pemberi

Kasihmu dapat kurasai


Hamba berdoa mengharap ridhaMu

Hamba berdoa memohon ampunanMu

Hamba berdoa agar selalu dalam bimbinganMu

Hamba berterima kasih atas rahmatMu


Wahai Maha Pengasih dan Penyayang

Telah kujalani perintahMu

Hingga usai bulan penuh rahmatMu

Berharap menjadi insan baru


Sampai jumpa lagi Ramadhan

Bulan penuh ampunan

Mari sambut Lebaran

Fitri hati sebening embun

Solo, 9 September 2010

31 Agustus 2010

RAMADHAN

Ramadhan

Salam hangat untukmu

Rindu menggebu menghampiriku

Suka cita aku menyambutmu

Ramadhan

Begitu mulianya dirimu

Betapa mempesona keutamaanmu

Kunikmati malam-malam indah bersamamu

Dengan berjalannya waktu

Aku tahu akan berpisah denganmu

Aku tak bisa memaksamu

Tinggal denganku

Ramadhan

Aku akan selalu merindukanmu

Kan kubuka pintu lebar-lebar untukmu

Ramadhan, AKU PADAMU!

Solo, 31 Agustus 2010

26 Juli 2010

MISKIN

“Terima saja bantuan tabung gasnya,” kata Mas Tris yang malam itu bertugas ronda malam di gardu depan warung hik Pak Min sembari mendengarkan radio perihal konversi minyak ke gas.

“Bukan begitu Mas,” sambung Pak Kardi

“Keluarga saya itu biasa masak dengan kayu bakar. Lagipula rasanya lebih khas dan enak. Saya juga masih bisa mencukupi kebutuhan keluarga dari hasil memulung. Makanya saya tidak mau menerima bantuan tabung gas itu Mas.” Kata Pak Kardi panjang lebar.

“Pak Kardi itu dikasih dari pemerintah. Tinggal pakai saja kok susah. Kalau pakai kompor gas kan lebih cepat selesai masaknya.”

“Tidak Mas Tris, saya tidak usah didaftarkan. Saya lebih senang pakai kayu bakar saja.”

“Tapi nama Pak Kardi sudah terlanjur ada dalam daftar warga tidak mampu yang akan diberi bantuan kampor gas. Paling-paling, satu dua minggu lagi bantuannya datang.”

“Tapi saya tidak miskin Mas Tris! Saya masih mampu mencukupi kebutuhan sekeluarga.”

“Pak Kardi seharusnya berterima kasih pada saya karena Pak Kardi dapat bantuan.”

“Tidak Mas Tris, saya tidak mau menerima bantuan itu.”

“Pokoknya Pak Kardi tanda tangan saja besok, biar dapat saya urus segera. Tinggal Pak Kardi yang belum tanda tangan lho.”

“Tidak Mas Tris.”

“Apa susahnya sih tanda tangan?” tanya Mas Tris kesal

Pak Kardi bergeming diikuti Mas Tris untuk keliling kampung.

Pagi harinya, Pak Kardi mengutarakan bantuan pemerintah kepada istrinya.

“Bapak tau kan kalau saya tidak bisa memakai kompor gas. Bagaimana nanti?” tanya Bu Kardi bingung

“Itulah Bu, kata Mas Tris nama keluarga kita sudah terlanjur di daftar dalam warga tidak mampu. Sebenarnya saya kurang sepakat dengan penggolongan itu.”

“Nanti kalau bantuannya datang dikembalikan saja, Pak. “ lanjut Bu Kardi

“Iya, memang mauku begitu.”

Selesai sarapan, Pak Kardi segera mengayuh sepeda ontelnya menyusuri gang-gang desa mencari botol bekas dan kertas untuk ditukarkan rupiah kepada pengepul di desa sebelah.

Seminggu telah berlalu. Ketika sore hari Pak Kardi pulang, didapatinya kompor gas dan tabung kecil di dapur. Pak Kardi memanggil istrinya dan didapatinya si bungsu tiduran sambil minum teh.

“Aji, Ibu dimana?”

“Beli gula di warung.”

Pak Kardi beristirahat sejenak dan timbul inisiatif pergi ke rumah Eyang Sastro sore ini untuk mengutarakan penolakannya atas bantuan kompor tersebut.

Sesampai di rumah Eyang Sastro, Pak Kardi melihat sesepuh kampung tersebut tengah berbincang dengan Mas Bas di teras rumah yang diterangi lampu antik bundar.

“Kulonuwun, Eyang.” Sapa Pak Kardi.

“Monggo, silahkan masuk,” sahut Eyang sembari menebar senyum dan menyalami tamunya.

Mas Bas ikut menyalami dan bergegas masuk ke dalam menyiapkan minum.

“Bagaimana kabar keluarga Nak Kardi?” tanya Eyang basa-basi

“Semua sehat-sehat Eyang.”

“Maaf Eyang, kedatangan saya ke sini sebenarnya ingin mengutarakan unek-unek perihal bantuan kompor gas.”

“O… itu. Yang mengurusi bantuan kompor gas itu kan Mas Tris. Katanya, untuk RT kita dijatah 25 bantuan kompor gas dari kelurahan.”

“Karena itu saya sowan Eyang karena saya dimasukkan dalam daftar warga tak mampu yang diberi bantuan kompor gas.”

“Nak Kardi tidak mau to?” tanya Eyang

“Saya dan istri sudah biasa masak pakai kayu bakar Eyang. Lagipula saya kurang sependapat kalau dimasukkan dalam daftar warga miskin karena saya bisa menafkahi kebutuhan keluarga dan saya tidak kekurangan Eyang.”

“Sebenarnya saya juga tidak sependapat atas penggolongan warga miskin berdasarkan materi yang dimiliki karena kaya dan miskin itu relatif, tergantung siapa yang menilai.”

“Maka dari itu Eyang saya meminta pendapat Eyang. Sudah cukup bantuan BLT dulu yang juga dipaksakan agar saya terima tetapi apa kenyataannya? Bantuan itupun juga tidak seratus persen saya terima, sudah disunat sama pengurusnya. Saya tidak mau mengulang keterpaksaan seperti dulu.”

Sejenak pembicaraan keduanya terhenti ketika melihat seseorang masuk halaman rumah Eyang Sastro.

“Kulonuwun Eyang,” sapa Mas Tris

“O… ternyata Mas Tris to. Monggo-monggo, silakan duduk.”

Bersamaan muncul Mas Bas dari dalam rumah membawa nampan berisi kue dan teh hangat. Mas Bas mempersilahkan kedua tamu mencicipi hidangan ala kadarnya itu dan ikut nimbrung.

Mas Tris segera mengungkapkan kesulitannya mengurus bantuan kompor gas dikarenakan Pak Kardi tidak mau menandatangani daftar penerima bantuan tersebut dan Mas Tris mengaku terpaksa mengakalinya agar bantuan kompor gas segera terwujud.

“Sudah saya bilang sejak kemarin Mas Tris, saya tidak mau dipaksa untuk menerima bantuan lagi. Tadi saya pulang kerja kok sudah ada kompor gas di rumah. Ibu sudah cerita kedatangan Mas Tris kemarin.”

“Pak Kardi ini selalu saja menyulitkan. Tinggal tanda tangan saja apa susahnya?” gerutu Mas Tris. “Maaf lho, saya terpaksa ngakalin. Kemarin itu saya memang datang ke rumah dan Bu Kardi saya minta tanda tangannya.”

“Maaf Mas Tris, saya merasa kalau saya ini tidak miskin. Apa kalau tidak setiap hari bisa makan daging itu disebut miskin? Apa kalau tidak bisa membeli lemari es itu disebut miskin? Apa kalau tidak punya sepeda motor itu disebut muskin?”

“Pak Kardi itu memang hidup di bawah garis kemiskinan. Semua orang juga bilang begitu,” kata Mas Tris tidak kalah sengit

“Sabar Nak Kardi dan Mas Tris,” kata Eyang Sastro menenangkan. “Mari kita bicarakan dengan kepala dingin.”

“Pak Kardi!” teriak Mas Tomo sambil setengah berlari mendekat dengan nafas tersengal.

“Kok sampai lari-lari itu ada apa Mas Tomo?” tanya Mas Bas penasaran

“Anu Mas Bas.”

“Anu kenapa?”

“Anak bungsu Pak Kardi.”

“Anak bungsu Pak Kardi kenapa?” tanya Mas Bas makin penasaran

“Si bungsu kena ledakan gas, rumah Pak Kardi sebagian terbakar. Sekarang ini masih ramai dipadamkan para tetangga. Si bungsu mau dibawa kerumah sakit tapi masih bingung cari pinjaman mobil.”

“Mas Bas, cepat pinjam mobil ke rumah Eyang Tjipto.”

“Baik, Pak.” Mas bas bergegas cepat

“Eyang, saya pamit dulu,” kata Pak Kardi terburu-buru

“Iya, iya. Nanti Mas Bas segera menyusul ke sana. Saya juga akan kesana secepatnya.”

Pak Kardi setengah berlari pulang diikuti pandangan gundah Mas Tris yang menyisakan tanya, Inikah akhir dari bantuan kompor gas untuk warga miskin?

Solo, 12 Januari 2010