16 Februari 2010

Ikhlas ala Eyang Sastro

Seperti biasa, setiap pagi Eyang Sastro duduk di teras rumah sambil nyeruput teh pahit kegemarannya. Mengenakan sarung, busana kebesarannya dan kaos oblong putih kesukaannya, Eyang Sastro tampak sederhana. Eyang Sastro tak pernah minum teh dalam keadaan panas, beliau dengan sabar menunggu tehnya hingga hangat-hangat kuku baru kemudian meminumnya. Ditengah asyiknya menikmati teh pahit, melintaslah tetangga sebelah yang akan ke pasar sambil menoleh kearah eyang Sastro sembari berujar, “Monggo Yang!” Eyang Sastro membalas dengan anggukan dan tersenyum ramah.


Seorang pria setengah baya berjalan tergesa melintasi halaman depan rumah Eyang Sastro dan mengucap salam, “Kulo Nuwun, Yang.” “Monggo, silahkan duduk”, jawab Eyang sambil mengumbar senyum. “Kok njanur gunung”, sambung Eyang

“Inggih Yang”, sahut Pak Tikno

“Bagaimana kabar keluargamu?” Sehat-sehat kan?” tanya Eyang berbasa-basi sesaat

“Inggih Yang, mohon maaf sebelumnya kalau kedatangan saya kemari ngrepoti,” kata Pak Tikno sembari menundukkan kepala.

Eyang Sastro mengangguk pelan.


Pak Tikno memandang Eyang Sastro sekilas dan kembali menundukkan kepalanya lagi dan berujar, “Sebenarnya, kedatangan saya kemari mau minta tolong Eyang. Begini Eyang, anak saya, si Doni yang paling kecil sejak kemarin masuk rumah sakit. Kata dokter, Doni terkena deman berdarah. Sedangkan Eyang sendiri tahu kalau biaya rumah sakit itu tidaklah murah. Maka dari itu, saya memberanikan diri pinjam uang pada Eyang untuk biaya pengobatan si Doni. Kalau saya ada rejeki, bulan depan akan saya kembalikan.” Kata Pak Tikno dengan panjang lebar.


Eyang Sastro mendengarkan penjelasan Pak Tikno dengan seksama dan menjawab, “Tunggu sebentar.” kata Eyang dan berlalu ke dalam. Sesaat kemudian Eyang Sastro kembali lagi ke teras dan menyerahkan uang kepada Pak Tikno.

“Terima kasih, Eyang, kata Pak Tikno.” Bulan depan, saya akan sowan ke sini Eyang”, lanjut Pak Tikno.

“Ya, ya. Semoga anakmu lekas sembuh”, sambung Eyang Sastro.

Dan Pak Tiknopun pamit pulang.


Mas Bas, anak bungsu Eyang Sastro yang melihat kepergian Pak Tikno barusan spontan bertanya, “Ada perlu apa Pak Tikno datang kemari pagi-pagi, Pak?”

“Anaknya sakit, dia butuh uang untuk biaya pengobatan di rumah sakit,” jawab Eyang kalem.

“O… pinjam uang to?” tanya Mas Bas

“Iya, sahut Eyang lagi.”

“Ah, paling-paling juga mundur mengembalikannya atau malah lupa sudah pinjam duit orang,”Mas Bas nerocos begitu saja sembari menyalami bapaknya dan pamit pergi kerja.

Eyang Sastro memandang anak bungsunya sambil mengernyitkan kening dan geleng-geleng kepala.


Sesudah isya’, Eyang Sastro sekeluarga makan malam bersama. Eyang Sastro biasanya menanyakan hal-hal seputar anak-anaknya pada saat berkumpul seperti ini dan yang tak luput dari perhatiannya adalah kejadian tadi pagi sebelum Mas Bas pamit pergi kerja.


“Anak-anakku, tanamkanlah dan amalkanlah sifat ikhlas pada diri kalian,” kata Eyang memulai pembicaraan setelah selesai makan. Semua terdiam menanti kalimat Eyang selanjutnya.

“Kalau ada seseorang yang membutuhkan materi, maka berikanlah jika kamu punya. Kalau kamu punya dan berkata sebaliknya, maka itu dosa. Seandainya ada tetangga atau saudara yang pinjam uang kepadamu dan kebetulan kamu punya uang lebih, maka teguhkanlah niatmu membantunya. Meskipun orang itu berkata meminjam uang darimu, maka niatmu adalah ikhlas memberikannya cuma-cuma. Dan jangan sekali-kali kamu berharap kembalinya uang tersebut."

“Tapi kalau orang itu telah berjanji akan mengembalikan bagaimana?” tanya Mbak Lisa, si anak pertama. “Bukankah janji itu juga hutang?” lanjutnya.

“Kalaupun orang tersebut mengembalikan uang itu padamu, maka itu masih rejekimu, dan sebaliknya, bukan rejekimu jika uang itu tidak kembali padamu,” sahut Eyang.

“Kalau ternyata uang itu tidak dipergunakan seperti alasan yang telah dikemukakan sebelumnya bagaimana?” lanjut Mas Bas

“Maksudmu dia berbohong agar dapat pinjaman, begitu?” tanya Eyang

Mas Bas mengangguk membenarkan.

“Anakku semua, Kalau orang itu datang dengan baik-baik dan berbicara dengan baik-baik, maka kamu percayai kata-katanya. Kalaupun dia memberikan alasan yang tidak benar, itu urusannya dengan yang diatas sana. Anakku, prasangka baik itu lebih utama.”

“Melakukan sesuatu itu yang ikhlas lillaahita’ala”, sahut Eyang Putri yang sedari tadi ikut mendengarkan.

Malam itu, Mas Bas merebahkan diri sambil memandangi langit-langit kamar. Matanya sudah terpejam tetapi hatinya masih terjaga merenungkan ilmu ikhlas ala Eyang Sastro, bapaknya tersayang.

Solo, 24 Mei 2009

01 Februari 2010

TOPENG

Aku percaya orang kagum melihatku

Aku yakin orang lebih senang topengku

Aku tahu orang suka melihat kepalsuanku

Aku tahu …


Dalam seribu topeng aku bersembunyi

Tinggal memilih peran apa yang kan kumainkan nanti

Topeng senyum paling aku suka

Karena topeng sedih sulit memerankannya


Oh … topengku

Kau menolongku dari kekuranganku

Kau mengalihkan perhatian orang akan keburukanku

Dan kau juga membawaku jauh dari diriku


Wahai topengku…

Sekarang aku lelah memakaimu

Aku letih memainkan peran yang bukan diriku

Tapi aku takut orang tak kan menghargaiku


Setengah muak aku pakai topeng senyumku lagi

Aku bercermin memandangi diri

Inikah diriku?

Inikah pribadiku?


Hei … topeng!

Kenapa kau masih memberi senyum mengembang?

Tak bisakah kau lihat selintas bayang

Wajah asli di balik topeng?


Oh! Aku tersadar dengan tubuh bergetar

Bukankah wajah asliku tak tampak di luar

Bukankah sesungguhnya orang tak pernah mengenalku

Mereka hanya mengenal topengku


Tolong … aku mohon

Jangan percaya topengku

Dan jangan kau paksa aku mengenakan

Topeng kepalsuanku


Sesak nafasku

Kubuka dan kulempar topengku

Lalu orang disekelingku mulai bertanya

“Siapa kamu?”



Oleh: Vianbonie

16 Januari 2010