06 Maret 2010

HAK

Balai Desa di pagi ini terlihat lebih ramai karena kedatangan tamu yaitu para “punggowo desa” atau yang lebih di kenal dengan sebutan ketua LKMD. Para ketua LKMD diundang untuk menghadiri rapat bersama karena hampir purna tugas. Mereka tidak merima gaji berupa uang setiap bulannya akan tetapi gaji itu berupa tanah bengkok yang di berikan ketika habis masa jabatannya. Dan pada pagi hari ini pembagian itu dilakukan oleh Lurah setempat.

Eyang Sastro turut diundang dan hadir pagi itu. Beliau tampak tengah berbincang akrab dengan teman seperjuangannya, Eyang Tjipto saat bersama-sama melawan penjajah dulu.

“Bagaimana kabar anak cucuku, Dimas Sastro?” tanya Eyang Tjipto mengawali pembicaraan.

“Alhamdulillah, semua sehat-sehat.” jawab Eyang Sastro kalem.

Pembicaraan antar teman seperjuangan itu berlangsung akrab dan di selingi tawa sampai-sampai tak terasa kalau rapat pembagian tanah bengkok telah selesai. Eyang Sastro berjabatan tangan dengan Eyang Tjipto dan berpamitan pulang kepada yang lain.

Eyang Sastro mengayuh sepeda onthelnya lambat-lambat dan tengah hari baru sampai rumah. Secangkir teh hangat sungguh menyegarkan di siang nan terik itu.

“Assalamu’alaikum,” sapa Mas Bas pulang dari kantor.

“Waalaikumsalam,” jawab Eyang Sastro

Mas Bas mendekat dan cium tangan ayahnya

“Ibu dimama?” tanya Mas Bas

“Goreng ikan di dapur. Sana bantu ibumu” kata Eyang

Mas Bas bergegas ke dapur. Sesaat kemudian, makan siang telah siap. Bertiga minus Mbak Lisa yang masih kerja di Bank, mereka melahap ikan kakap goreng di tambah sambal korek yang pedas.

“Bagaimana rapatnya tadi?” tanya ibu membuka pembicaraan

“Tadi itu rapat pembagian tanah bengkok untuk para ketua LKMD,” jawab Eyang Sastro

“Bapak dapat bagian berapa meter?” tanya Mas Bas bersemangat

“Masing-masing ketua mendapat jatah tanah bengkok 500 m²,” kata Eyang menjelaskan.

“Di daerah mana, Pak?” sambung Mas Bas masih bersemangat

“Bapak tidak ambil jatah tanah itu,” sambung Eyang Sastro

Sesaat, Eyang Putri dan Mas Bas melongo.

“Kenapa?” Tanya Eyang Putri kemudian

Eyang Sastro mengambil gelas dan meminummya habis. Sementara Eyang Putri dan Mas Bas masih penasaran dengan alasan penolakan jatah tanah bengkok itu.

“Rumah yang kita tempati ini kan besar. Lagipula luas tanahnya juga 1000m² , sudah cukuplah untuk berteduh Bapak sekeluarga.” Jelas Eyang Sastro

“Tapi itu kan hak Bapak?” protes Mas Bas

“Mas Bas, anakku. Coba kamu lihat di luar sana. Masih banyak orang yang membutuhkan sejengkal tanah untuk tempat berlindung dari panas dan hujan. Bapak tidak mengambil yang kamu bilang sebagai “hak” bapak, akan tetapi ada yang lebih ber”hak” memilikinya. Biarlah orang lain yang belum punya rumah membelinya dengan harga yang pantas.


Eyang Sastro beranjak meninggalkan ruang makan dan beristirahat sejenak diikuti Eyang putri, sementara Mas Bas masih terdiam sesaat merenungkan siapa yang punya “hak” atas tanah bengkok itu.

Solo, 27 Agustus 2009