Ketua RT, Ketua RW dan Ketua LKMD seumur hidup. Itulah amanat yang di emban Eyang Sastro sampai akhir hayatnya. Bukannya serakah akan posisi di kampung akan tetapi tak seorang wargapun sanggup menggantikan ketiga amanat itu. Kalau dihitung-hitung, Eyang Sastro sudah menjalani amanat itu sejak 1975 sampai Orde Baru berakhir. Warga Desa Sari Makmur berpendapat bahwa ketiga posisi itu masih dipercayakan kepada Eyang Sastro selama beliau masih hidup.
Bulan November tahun ini adalah hari besar umat Islam setelah sebulan penuh berpuasa. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, warga desa Sari Makmur bersilaturahmi ke rumah tetangga setelah sholat Idul Fitri di lapangan dekat sekolah kejuruan yang berbatasan dengan desa tetangga.
“Mas Bas!” panggilBapaknya
Terdengar sahutan dari dalam rumah dan Mas Bas segera mendekati Bapaknya.
“Ibumu sedang mempersiapkan punjungan (makanan dan lauk pauk seperti opor dan sambal goreng) untuk Eyang Tjipto. Nanti kamu yang antar ya.”
“Baik Pak”, sahut Mas Bas
Sesaat setelah kepergian Mas Bas, terdengar pintu rumah diketok seseorang. Eyang Sastro dengan senyum mengembang mempersilahkan tamu masuk. Tak lama kemudian, tetangga sebelah datang sekeluarga dan tamu lain susul menyusul. Rumah Eyang Sastro semakin siang semakain ramai.
Momen Lebaran seperti ini selalu berpusat di rumah Eyang Sastro dimana warga masyarakat datang bersilaturahmi dan bermaafan. Bisa dikatakan, tamu berdatangan dari pagi sampai malam di rumah Eyang Sastro. Layaknya praktik dokter, setiap jam 12 siang rumah Eyang sastro tutup dan di buka kembali pada pukul satu siang. Usulan ini disampaikan oleh Om Marwan yang tidak tega melihat kondidi fisik eyang yang sudah sepuh sampai-sampai kewalahan menerima tamu. Alhasil, trik ini sukses juga dijalankan.
Anak-anak tidak ketinggalan bersilaturahmi dengan harapan mendapatkan pitrah (lafal Jawa); semacam uang saku untuk anak-anak di hari lebaran. Kemeriahan seperti ini berlangsung lebih dari satu minggu sampai hari Kupatan tiba yaitu seminggu setelah Lebaran. Situasi ini berlangsung setiap tahun selama Eyang masih memegang amanat sebagai ketua RT, RW dan LKMD setempat. Ruh hari kemenangan benar-benar terasa dengan membaurnya warga kampung, tak memandang kekayaan, status sosial, profesi dan lain-lain.
Akhir bulan telah tiba dan bulan Desember menyapa. Ada hari besar umat Kristiani di bulan Desember; Hari Natal yang diperingati setiap tanggal 25 Desember. Hari besar ini diperingati oleh Eyang Tjipto, sahabat seperjuangan Eyang Sastro yang memeluk agama Kristen. Eyang Tjipto juga mengirimkan lauk pauk dan bermacam snack kepada Eyang Sastro disertai undangan makan malam dengan menu paten yaitu lontong opor, sambal goreng hati dan kerupuk udang. Mas Bramantyo, anak tertua Eyang Tjipto yang biasanya mengantarkannya. Persahabatan antar keduanya sangat akrab sampai-sampai seperti saudara sendiri.
Ketika malam tiba, Eyang Sastro datang memenuhi undangan sahabat kentalnya yang diakui sebagai kakaknya dengan suasana santai dan akrab. Perbincangan keduanya tak putus-putusnya sampai larut malam dan akhirnya Eyang Sastro mohon pamit. Berjalan pelan diiringi suara jangkrik, Eyang Sastro menyusuri jalan kampung yang tak ramai.
“Selamat malam, Eyang .” Sapa Pak Titis ketika berpapasan di depan pos ronda.
“Selamat malam,” jawab Eyang Sastro sambil tersenyum.
“Dari mana Eyang?” tanya Pak Titis basa-basi
“Dari rumah Eyang Tjipto. Ada undangan makan malam.”
“Loh! Eyang Tjipto itu kan merayakan Natal hari ini.”
“Iya, benar.” Sahut Eyang Sastro.
“Kenapa Eyang Sastro datang kalau sudah tahu Eyang Tjipto merayakan Natal?” tanya Pak Titis dengan nada heran. “Maaf lho Eyang, ada yang bilang kalau Eyang itu abangan, seperti tidak berpedoman begitu. Contohnya ya seperti ini. Eyang Sastro datang memenuhi undangan Eyang Tjipto yang berbeda keyakinan.” lanjut Pak Titis.
“Eyang Tjipto itu kan masih satu RT dengan kita. Lagipula, itu hanya makan bersama dan kangen-kangenan. Eyang pikir, tidak baik tidak datang kalau sudah diundang.” jelas Eyang Sastro.
Pak Titis hendak protes lagi sebelum akhirnya disahut oleh Mas Priyo yang kebetulan lewat.
“Nuwun sewu, Eyang, kalau boleh menyela.” kata Mas Priyo mendekat. Eyang Sastro mengangguk pelan.
Mas Priyo mengalamatkan penjelasannya kepada Pak Titis, “Eyang Sastro itu kan Ketua RT, RW dan LKMD di desa ini. Anak-anaknya itu banyak dan berbeda-beda latar belakang dan kepercayaannya. Kedatangan Eyang Sastro itu karena menjaga hubungan baik antar manusia, disamping itu juga ngemong anak-anaknya karena Eyang ini dianggap sebagai Bapaknya orang kampung. Kalau Bapaknya saja pilih-pilih, ya bisa ditebak to kalau anak-anaknya nanti ada yang meri (iri). Benar begitu Eyang?” Tanya Mas Priyo sambil menoleh ke arah Eyang Sastro.
“Ya, ya. Kurang lebih begitu. Datanglah kalau diundang. Kalaupun berbeda keyakinan, itu urusannya dengan yang diatas sana. Urusan kita sesama manusia itu menjaga tali silaturahmi agar tidak putus.”
“Nak Titis, lanjut Eyang, “Saya berpesan, kalau nanti Nak Titis menjadi pemimpin, rangkulah anak-anakmu tanpa pilih-pilih. Setiap anak pasti punya perwatakan berbeda, kekurangan dan kelebihan yang berbeda pula. Selamilah pribadi anak-anakmu dan pertahankan hubungan baik dengan sesama manusia. Sedangkan perbedaan keyakinan itu urusan manusia dengan Tuhan sang pencipta.”
Mas Priyo manggut-manggut tanda sependapat sedangkan Pak Titis menyahut pelan; “Iya Eyang,” dengan masih mengernyitkan alisnya, entah paham atau tidak.
Solo, 3 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar