07 Juli 2009

Benarkah Nabi Muhammad Buta Huruf?

Pertanyaan diatas sering terlintas di pikiranku dan mungkin juga ada di benak banyak orang. Ketika membicarakan sejarah kehidupan Nabi Muhamad SAW, hal tentang ke"ummi"an beliau acapkali diperdebatkan. Perbedaan penafsiran dengan masing-masing referensi dan argumen marak di sharingkan.

Seperti telah diajarkan di Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, bahwa imej ummi atau buta huruf begitu melekat dalam sosok Muhamad. Tapi benarkah beliau tetap buta huruf sampai akhir hayatnya?

Nabi Muhamad yang buta huruf adalah pandangan para ulama terdahulu dan sampai sekarangpun masih ada yang meyakininya. Lalu bagaimana kalau ada yang berpandangan sebaliknya? Seorang pemikir Timur Tengah, Syekh Al-Maqdisi menuliskan buku yang kontroversi berjudul “Khurafatu Ummiyati Muhammad” (Mitos Keummian Muhammad) yang diterjemahkan oleh Abu Nayla menjadi “Nabi Muhammad: Buta Huruf atau Genius” (Jakarta:Nun Publisher,Cet 1,April 2007)

Perbedaan pandangan ini yang akan ditulus di sini. Awal perbedaan pandangan adalah kata ummi.

“orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…..”

Ayat inilah yang menjadi awal perbedaan pandangan tentang keummian Nabi Muhammad. Seperti telah diketahui bahwa Bahasa Arab bisa disebut bahasa yang komplek. Dari satu kata bisa berarti banyak makna. Satu kata “ummi” inilah yang menjadi titik tolak perbedaan pandangan.

Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah-nya menyatakan bahwa; “Kata ummi terambil dari kata umm/ ibu dalam arti seseorang yang tidak pandai membaca dan menulis. Seakan-akan keadaanya dari segi pengetahuan atau pengetahuan membaca dan pengetahuan menulis sama seperti keadaan ibunya yang tidak pandai baca-tulis. Sedangkan menurut Al-Maqdisi, kata ummi tidak diartikan secara letterlock. Kata ummi akan lebih tepat jika diartikan sebagai orang-orang di Arab selain Yahudi dan Nasrani. Karena kedua golongan ini menyebut orang-orang di luar diri mereka sebagai ummi. Jadi seperti itulah pemaknaan yang sesuai mengenai kata ummi ini. Dengan menafsirkan kata ummi ini dengan golongan non-Yahudi dan non-Nasrani, maka kepribadian Nabi sebagai uswatun hassanah tidak akan terkoyak.

Bagi sebagian muslim, gelar ummi yang melekat pada Nabi Muhammad sangat menyakitkan. Bagaimana tidak? Beliau adalah seorang rosul yang memberi suri tauladan kepada umatnya agar membaca dan membaca supaya mendapatkan ilmu pengetahuan, sementara di sisi lain beliau di kabarkan ummi. Ironis! Perhatikan ayat berikut:

“Dialah yang mengutus seorang rosul kepada kaum yang “ummi” dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menyucikan jiwa mereka, mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah, meskipun sebelumnya mereka dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumuah:2)

Kaum yang “ummi” yang disebut dalam ayat tersebut adalah kaum Arab. Jika menengok sejarah masa lalu, bangsa Arab pada saat itu dikatakan jahiliyah. Dalam artian, mereka jahiliyah dalam bidang akidah. Sedangkan dalam bidang sastra, mereka bisa dibilang maju karena bangsa arab dikenal sangat lihai dalam menuliskan syair-syair sehingga ayat-ayat Al-Qur’an pun diturunkan seperti dalam irama syair sehingga ruh sastra seperti lekat didalamnya. Hal ini sesuai dengan budaya bangsa dimana kitab suci diturunkan.

Dikisahkan dalam sejarah, ketika Nabi Muhammad melafalkan ayat suci Al-Qur’an, para penyair terpesona dengan indahnya syair itu sampai mereka sepakat bahwa Muhammad tidak mungkin bisa membuat syair sebegitu indah. Kesusasteraan bangsa Arab telah diakui keberadaannya terbukti dengan ditempelkannya karya-karya sastra yang berkualitas di dinding ka’bah saat itu.

Kembali pada kata “ummi”, menurut Alquran adalah orang-orang yang tidak, atau belum diberi satupun Kitab oleh Allah. Kaum Yahudi telah diberi tiga buah kitab melalui beberapa orang nabi mereka. Karenanya, mereka di sebut ahli kitab. Sedangkan orang-orang Arab, belum diberi satupun kitab sebelum Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad yang orang Arab. Hal ini dijelaskan-Nya dalam Firman-Nya:

“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi kitab, dan orang-orang “ummi” (yang tidak diberi kitab), sudahkah kamu tunduk patuh?” (Qs Ali Imran: 20).

Maka dari itu, kata ummi tidak selalu berarti buta huruf. Bukankah wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad berupa perintah membaca.

”Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan (QS 96:1)

Allah SWT menyapa Nabi Muhammad dengan perintah untuk membaca. Bagaimana beliau mengajak kaumnya membaca jika yang menjadi suri tauladan (di anggap) buta huruf?

Ayat lain yang menggambarkan Nabi Muhammad tidak buta huruf adalah:

“Katakanlah (Muhammad), ‘Marilah, aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu….” (QS 6:151).

“Demikianlah Kami mengutus kamu (Muhammad) kepada satu umat yang sebelumnya beberapa umat telah berlalu, agar engkau bacakan kepada mereka (Alquran) yang Kami wahyukan kepadamu.…” (QS 13:30).

“Dia yang mengutus kepada kaum yang ummi (orang Arab) seorang rasul (Muhammad) di kalangan mereka untuk membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,” (QS 62:2).

“Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca suatu kitab sebelum (Alquran) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu, sekiranya engkau pernah membaca dan menulis niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya.” (QS Al-Ankabut : 48).

Ayat ini menegaskan, Nabi tidak pernah membaca dan menulis satupun Kitab sebelum menerima Alquran. Maksudnya, setelah menerima Alquran, Rasul membaca dan menulis Kitab dengan tangan kanannya. Ayat ini pun menunjukkan, dengan tidak pernahnya Rasullullah membaca atau menulis satu kitab pun semisal Alquran, bukan berarti Rasulullah tidak tahu membaca dan menulis. Misalnya membaca dan menulis dalam urusan perdagangannya. Nabi adalah seorang pedagang yang terkenal. Dan para ahli sejarah sepakat, pada zaman Nabi tidak menggunakan angka-angka; huruf huruf abjad telah digunakan sebagai angka-angka. Sebagai seorang pedagang yang berurusan dengan nomor-nomor atau angka-angka setiap hari, Nabi tentunya tahu tentang abjad, dari satu sampai keseribu. Karenanya, tidak ada dalih yang kuat apalagi untuk mempertahankan pendapat Nabi Muhammad buta huruf. (dikutip dari http://harykoe.wordpress.com)

Al-Maqdisi memberikan argumennya yang menepis anggapan bahwa Nabi Muhammad buta huruf dengan mengemukakan hadis yang diriwayatkan Zaid bin Tsabit (penulis Al-Qur-an pertama) bahwa Nabi pernah bersabda:

“Jika kalian menulis kalimat Bismillahirrahmanirrahim, maka perjelaslah huruf sin di situ.”

Orang yang tidak bisa baca tulis tidak mungkin bisa mengoreksi satu huruf yaitu huruf SIN dari kalimat Bismillahirrahmanirrahim.

Terlepas dari perbedaan pandangan keummian Nabi Muhammad, mengetahui sejarah masa lalu ibabat melihat mozaik yang berserakan. Karena itu, tak ada salahnya jika mengkaji kembali sejarah masa lalu.

(Disarikan dari berbagai sumber)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Memang menarik perhatian cerita ke'ummian" nabi Muhammad. Apa iya sih, beliau tak bisa baca tulis sampai akhir hayatnya? Sebagai pimpinan negara yg berhubungan dg banyak orang, kayaknya agak ganjil kalau mutlak buta huruf. Ada yg berpendapat kalau beliau bisa membaca tetapi tidak bisa menulis. Apa kalau bisa baca dan tak bisa tulis layak di sebut buta huruf?