03 Februari 2009

Membaca: Tegak Lurus Dengan Langit

Ada kesan religi tersirat dari judul cerpen Iwan Simatupang Tegak Lurus Dengan Langit. Berdiri ditas bukit dimana kaki tokoh utama berpijak merupakan simbol dimana manusia sebagai makhluk ciptaanNya tinggal. Dia berdiri tegak lurus dengan langit yang mengisyaratkan kesadaran penuh sang pelaku akan perbuatannya. Dan Langit merupakan simbol Tuhan Pencipta Alam Semesta. Jika seseorang bilang "Manusia berusaha tapi yang menentukan yang Di Atas Sana" Jelas sudah simbolisasi yang diutarakan pengarang.

Dalam cerpen karya Iwan Simatupang ini, pembaca langsung terhenyak pada paragrap pertama. Pembunuhan! Itulah pembuka cerpen ini. Walaupun tokoh ini tak tahu kenapa ia membunuh orang itu tetapi ia melakukannya dengan penuh kesadaran. Lalu pembaca dibawa ke masa lalu/flashback dari kejadian sebelum terjadinya pembunuhan itu.

Tokoh sentralnya adalah seorang bujangan yang hidup bersama ibu dan dua abangnya. Ayahnya tak tahu kabar beritanya dan setelah ditunggu tujuh belas tahun akhirnya atas kesepakatan bersama mereka putuskan ayah telah hilang. Mereka hidup tanpa figur ayah dan selama itu pula ibunya tidak pernah menikah lagi karena statusnya yang menggantung.

Meski demikian, segala sesuatu menyangkut pajak, koran dan lain-lain masih menggunakan nama ayahnya. Mereka hidup tenang hingga pada suatu hati seorang petugas sensus datang dan menanyakan segala administrasi menyangkut nama kepala keluarganya. Sontak sekeluarga kaget bukan kepalang. Setelah sekian lama mati-matian mengurung hantu ayahnya, tiba tiba mereka mendapatkan pertanyaan tak terduga ini. Dengan emosi yang memuncak, kedua abangnya membunuh petugas sensus tersebut dengan konsekuensi mereka berdua dihukum dengan cara dibuang jauh-jauh.

Tinggalah tokoh utama ini dengan ibunya di rumah itu. Seorang teman baik ayahnya bersimpati terhadap nasib keluarga ini dan bermaksud menikahi istri sahabatnya. Sang ibu gamang, tak ada suami di sisinya tetapi statusnya bukan janda. Di satu pagi ketika si tokoh utama ini hendak mengambil sisir di kamar ibunya, dia tercengang dengan apa yang disaksikannya. Sang ibu sedang bermesraan dengan teman baik ayahnya. Berbarengan ketiganya sontak menjerit.

Putus asa, sang ibu menagis seharian dan petangnya meninggal dunia dengan pesan dia masih cinta ayahnya. Praktis tokoh utama ini hidup seorang diri. Pada satu waktu, dia bertemu dengan seorang gadis dan jatuh cinta padanya. Dilamarnya gadis itu dan spontan dijawab iya. Segala keperluan pesta pernikahan telah disiapkan. Sehari sebelum pernikahan, orang tua si gadis berkeras ingin bertemu dan mengenal orang tua tokoh utama. Kematian ibunya dan kepergian abangnya dia ceritakan dengan lancar akan tetapi kerongkongannya tercekat tatkala dia harus bercerita tentang ayahnya. Dia berpendirian, kalau perkawinan tak baik dimulai dari bohong besar. Kejujuran memerlukan keberanian. Inilah yang ditunjukkan sang tokoh. Akhirnya dia putuskan untuk menceritakan yang sebenarnya sesuai kesepakatan dalam keluarganya bahwa ayahnya hilang. Reaksi yang dia dapatkan sungguh mengecewakan. Perkawinan dibatalkan! Apalagi calon istrinya langsung jatuh sakit terkena paru-paru dan makin hari makin parah. Dan akhirnya sebulan kemudian calon istrinya meninggal. Mengharu-birulah perasaannya.

Dia masih bisa mencerna pengalamannya dan peristiwa pahit itu ditelannya sendiri tanpa ada sanak keluarga yang menghibur kepedihan hatinya. Paginya dia dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki tua yang mengaku ayahnya. Benteng pertahanannya memenjarakan hantu ayahnya runtuh seketika. Lelaki tua itu masuk, duduk tenang di kursi besar sambil membaca koran. Dia melomgo tak percaya. Ada dua kemungkinan berkecamuk dikepalanya. Pertama, bisa jadi lelaki tua ini benar ayahnya. Kedua, mungkin saja lelali tua ini hanya seorang penipu. Akan tetapi keraguannya sirna dan kesimpulannya mengerucut tatkala lelaki tia ini pergi ke kamar ayahnya, mengambil setelan baju lalu mandi sambil menyenandungkan lagu favorit ibunya. Selesai mandi lelaki tua itu kembali duduk di kursi besar dan tersenyum padanya. Tatapan mata yang beradu ini membuatnya bimbang dan sekaligus mengejutkannya. Ya, dia mengenali mata itu. Teringat dia akan kedua abangnya yang mempunyai mata setajam itu dan matanya sendiri sepertinya warisan ayahnya. Tak tahan dia bersitatap dengan ayahnya. Dia menduduk dan terduduk sembari memeluk ayahnya. Dia memanggilnya "ayah." Sesaat dia merasakan keharuan setelah tujuh belas tahun lamanya tak mengenalnya. Kesadarannya pulih beberapa saat kemudian dan semua peristiwa yang dialaminya dan nasib keluarganya menyeruak hadir dalam benaknya. Nasibnya yang hidup seperti di alam maya, ibunya yang setia tapi tak jelas dengan siapa dia setia dan kedua abangnya yang dia tak tahu lagi bagaimana nasibnya. Kebenciannya semakin memuncak mengingat itu semua, apalagi dia baru berumur tiga tahun ketika ayahnya hilang. Ayahnyalah penyebab kekacauan dalam keluarganya. Maka tumbuh tekad dalam dirinya. Tak mungkin dia terus menerus tunduk dan tak sanggup memandang mata itu. Akhirnya dia mendapatkan gagasan. Dia bangkit dan pergi ke dapur mengambil pisau. Dia datang kembali kepada ayahnya dan dengan tenang dihujamkannya pisau itu ke ayahnya berulang kali. Ayahnya bersimbah darah, dia menatap mata ayahnya yang tak setajam pisaunya. Dia telah membunuh ayahnya dan tak tahu mengapa dia membunuhnya. Tapi dia puas.

Entah kenapa dia tiba-tiba berlari tapi dia hanya ingin berlari dan terus berlari. Akhirnya sampailah dia di suatu bukit. Dia berdiri tegak diatas bukit tegak lurus dengan langit menjelang pagi. Sisa gumpalan darah dia jentikkkan dari kelingkingnya. Ada senyum puas di wajahnya. Dia puas telah membunuh hantu masa lalunya yang terus-menerus menghimpit kehidupannya. Saat mentari datang menyambut pagi, dia akan pulang, mandi, sarapan dan menyerahkan diri ke polisi.

Reaksinya berdiri tegak lurus dengan langit diatas bukit itu mengisyaratkan bahwa dia sepenuhnya sadar akan perbuatannya dan siap mempertanggungjawabkannya baik dengan hukum yang berlaku dimana kakinya berpijak maupun hukum Langit. Beberapa pertanyaan ini patut untuk didiskusikan ataupun direnungkan:
1. Salahkah jika si anak membenci ayahnya?
2. Sang ayah tiba-tiba kembali ke rumah. Benarkah tindakan sang ayah?
3. Salahkah si anak yang membunuh ayahnya?
4. Bagaimana mensikapi perbuatan si anak dari sisi psikologi dan agama?
Silahkan berbagi ide dan gagasan disini.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Not bad for you, sweety. I am waiting for the next writing.

ANN mengatakan...

Hi.. Vian Me again. Tegak lurus menjadi cermin buat kita untuk selalu keep in tauch dengan orang-orang yg kita sayangi meski jauh,meski secara kasat mata tak pernah bersua. Pelajaran untuk orang tua, untuk anak, untuk kita semua. May God always bless you. Amien