Pramudya Ananta Toer. Nama itu sangat familier di Indonesia bahkan berbagai penghargaan di berikan kepadanya dalam penagbdiannya di bidang sastra. Pramudya yang di kenal sebagai sastrawan tiga jaman ini kehidupannya dulu tak lepas dari kerja paksa,penjara dan pemberangusan karya-karyanya.
Salah satu karyanya yang fenomenal adalah Bumi Manusia. Mengharu-biru. Seperti itulah gambarannya. Novel ini merupakan jilid satu dari tetralogi pulau Buru. Pramudya tetap menulis dan menghasilkan karya sastra bagus meskipun diasingkan di pulau Buru. Salut untuknya.
Novel Bumi Manusia bersetting pada abad 19 dimana penjajahan Belanda masih kental di bumi pertiwi. Narasinya begitu menyentuh sehingga pembaca seakan-akan mengalami dan menyaksikan keadaan serba sulit pada masa itu. Penokohannya kuat dan alur ceritanya terfokus. Sedangkan gaya bahasa yang dipakai pengarang seakan-akan mengalir begitu saja. Pilihan kata yang dipakai cukup bisa dipahami pembaca. Lewat karakter Minke, Annelis, Nyai Ontosoroh dan lain-lain, Pramudya bercerita sejarah Indonesia melalui novel.
Minke adalah tokoh utama dalam novel ini. Meski itu hanya nama julukan dari kata monkey tapi dia tak peduli, bahkan mana itu lebih terkenal dari nama aslinya. Minke bukanlah dari keluarga miskin, terbukti dia bersekolah di HBS, sekolah pada masa itu yang diperuntukkan bagi mereka yang berduit. Sementara yang pas-pasan hanya mengenyam pendidikan Sekolah Ongko Loro. Minke merupakan karakter yang open minded. Perlakuan penjajah terhadap anak pribumi dan anak indo mengusik hatinya. Dia telah mengalami sendiri ketika masuk sekolah pertama kali, pakaian eropanya harus diganti dengan pakaian tradisional atau disebut beskap (bahasa Jawa). Baju yang dipakai seseorang kala itu menunjukkan status sosial orang tersebut. Minke ingin mendobrak streotype lama dengan yang baru.
Dari kehidupannya yang sering berjumpa dengan indo dan londo totok membuat pergaulannya lebih luas. Satu hari dia berjumpa dengan Annelis Mellema, seorang gadis indo anak dari Herman Mellema dan Nyai Ontosoroh (seorang pribumi). Gayung bersambut, cintapun bersemi. Annelis adalah gadis pekerja keras. Dia mewarisi keuletan ibunya yang meskipun seorang yang tak mengenyam pendidikan formal akan tetapi dia cepat belajar dari suaminya sehingga dia mampu meneruskan mengelola bisnis keluarga Mellema. Sosok Sanikem atau Nyai Ontosoroh yang keras perwatakannya tak luput dari pengalaman hidupnya yang getir. Orang tuanya menyerahkan dia kepada seorang totok Belanda yang tak dia kenal untuk menjadi nyai (istilah saat itu untuk menyebut simpanan. Sanikem seperti terlempar ke dunia asing yang harus dimasukinya dan dia harus berjuang sendirian. Suatu potret sosial masyarakat yang sangat miskin moralnya sehingga menjual anaknya kepada orang kaya yang akan mengirimi uang dan segala kebutuhan mereka. Pengalaman hidupnya membuat wataknya menjadi keras demikian juga didikan kepada anak-anaknya. Dia mempunyai dua orang anak, Annelis dan Robert. Pekerja keras rupanya ditunjukkan oleh karakter Annelis.
Minke mulai mengenal keluarga ini dan mengagumi kegigihan sang Nyai. Annelis suatu hari mengalami kejadian yang tak seharusnya terlebih-lebih terjadi di rumahnya sendiri. Robert Suurhof, seorang teman kakaknya yang menaruh hati padanya mengejarnya dan memaksakan keinginannya. Annelis tak berani menceritakan kejadian ini baik kepada ibunya ataupun kepada Minke.
Minke akhirnya menikah dengan Annelis. Dia menerima Annelis dengan segala kekurangannya. Hingga pada satu hari datanglah seorang Belanda bernama Maurits Mellema. Dia mengaku sebagai anak sah dari Herman Mellema di Nederland. Dia meminta seluruh hak dan kekayaan ayahnya yang membuat ayahnya frustasi dan lari ke minuman keras sampai mati. Herman Mellema mempunyai anak dan istri di negara asalnya, akan tetapi dia menikah dengan wanita pribumi dan mempunyai anak pula. Dari pengadilan diputuskan bahwa perkawinan Nyai Ontosoroh dengan Herman Mellema tidak sah berikut perkawinan Minke dan Annelis. Pengadilan memutuskan bahwa seluruh harta dan kekayaannya jatuh ke tangan Maurits Mellema. Sistem pengadilan saat itu tidak memberikan kesempatan pribumi membela diri. Maka Annelis Mellema harus di bawa Maurits ke Belanda. Pada saat itu Annelis jatuh sakit, akan tetapi hukum yang berlaku telah memaksanya dan memisahkannya dari ibu kandungnya dan suaminya. Sungguh ironis, orang asli yang punya negara tidak bisa berbuat apa-apa. Hukum yang berkuasa memutuskan hubungan ibu dan anak, suami dan istri. Hukum butan manusia yang semena-mena dan lunturnya kemanusiaan yang menyentuh sampai di dasar hati. Novel satire ini menggambarkan carut-marutnya bumi yang dihuni oleh makhluk bernama manusia. Kiranya kita bisa memetik pelajaran moral dari novel ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar