06 Juni 2009

Prita-ku Sayang Prita-ku Malang

Baru-baru ini kasus Prita Mulyasari santer diberitakan media cetak dan elektronik. Seorang ibu rumah tangga yang harus mendekam di sel karena mengirim complain perihal rumah sakit OMNI Internasional Tangerang yang tidak memberi penjelasan akan sakitnya kepada temannya via e-mail.


Prita yang saat itu panas dengan suhu 39 derajat di bawa ke UGD. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit Prita 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Dari analisa dokter setempat, Prita dinyatakan menderita Demam Berdarah. Akan tetapi dokter merevisi hasil lab, bahwa trombosit Prita bukan 27.000 tetapi 181.000. Prita juga mengalami pembengkakan pada tangan, leher dan mata akibat dari obat-obatan. Akhirnya Prita memilih pindah ke RS lain.

Kisah diatas hanyalah satu dari bermacam complain yang dialami masyarakat yang sedang di rawat di Rumah Sakit. Hanya bedanya, complain yang lain tidak ter-ekspose. Ada satu kasus yang ditayangkan di TV perihal seorang pasien (saya lupa namanya) yang keadaannya sangat mengenaskan. Pasca operasi yang berkali-kali, ternyata ususnya terburai jika tidak di tempel perban, sehingga organ dalam perut bisa terlihat jelas. Ngeri rasanya melihat dan membayangkan penderitaan orang ini. Dan dia harus menjalani hidup dengan usus terbuka selama berbulan-bulan.


Berkenaan dengan perlindungan pasien, sepertinya masih sangat minim di negeri ini serta bargaining position pasien terlalu lemah ditambah lagi pasien yang tidak ngeh perihal kedokteran sehingga pasien berharap banyak pada pihak RS dan seakan-akan ada kepasrahan total agar sembuh. Saya sendiri tidak begitu paham akan Undang-undang atau apapun namanya yang merinci tentang perlindungan pasien. Terkait berita ini, semoga menjadi masukan yang berarti bagi para pembuat Undang-undang di negeri ini.


Jika kasus diatas dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk jika complain entah ke suara pembaca atau via apapun diberangus lewat hukum. Kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat yang selama ini di gembar gemborkan menjadi bumerang. Bagaimana bisa lebih baik jika tidak mau terima saran dan kritik? Semoga hal seperti ini tidak terjadi lagi.

Tidak ada komentar: