Dunia pesinetronan tampaknya terus menggeliat. Lihat saja tayangan sinetron di TV yang menyeruak dengan bintang-bintang muda yang cantik dan ganteng. Penghasilan yang menjanjikan di dunia entertain menjadikan banyak kalangan sangat berminat terjun di dalamnya. Kaya raya dan popularitas sepertinya menjadi trade mark generasi muda. Kesuksesan diukur dengan materi. Kesempurnaan fisik diukur secara materi. Ukuran hidup berdasar materialitas tampaknya makin sulit di tekan seiring dengan membanjirnya informasi dari belahan dunia yang bisa di akses dengan mudah lewat Hi- Tech (kata Pak Habibie…, he … he…).
Booming sinetron bisa di tonton sebagai hiburan, akan tetapi di sisi lain muncul kekhawatiran. Sinetron yang ber-genre horor telah lewat dan sekarang berganti dengan genre religi. Salah satu sinetron yang ber-genre religi yang di semprit karena kurang mendidik dan melecehkan agama adalah Hareem dan sekarang berganti judul menjadi Inayah. Pada awalnya, tokoh-tokoh dalam sinetron ini memakai jilbab. Seperti sinetron Indonesia pada umumnya, ada hero atau tokoh protagonis di dalamnya dan tokoh antagonis. Kedua karakter baik protagonis ataupun antagonis sama-sama memakai jilbab. Kesan yang memancar dari karakter tokoh antagonis ini adalah orang yang memakai jilbab itu jahat bahkan kelewat jahat. Hal ini menimbulkan citra yang buruk untuk Islam. Sedangkan tokoh protagonis di hampir semua sinetron digambarkan sebagai seorang yang lemah bahkan tak berkarakter layaknya robot.
Sedangkan alur cerita yang disajikan bertele-tele, ibarat membaca Kho Ping Hoo jilid kesekian. Banyak orang yang menonton sinetron ala Indonesia ini merasa gemas dan sering protes pada TV karena kekurangpintaran tokoh protagonisnya. Sikap sabar dan narimo dalam sinetron Indonesia digambarkan secara membabi buta. Seorang teman menyebutnya dengan bahasa yang lebih ekstrim yaitu “bego.” Adapun yang menjadi tema utama dan sekaligus memprihatinkan adalah perebutan harta. Konteks materialis sangat kental di dunia sinetron Indonesia. Terselip suatu paham yang entah disadari atau tidak oleh para pemirsa bahwa sesuatu yang membuat manusia terpandang adalah melimpahnya harta kekayaan dan tingginya status sosial.
Ada satu hal lagi yang menjadi ciri sinetron kita, yaitu monolog. Sering kita lihat monolog tokoh yang menggarisbawahi “kejahatannya” atau “kebaikannya” sehingga alur cerita mudah sekali ditebak. Padahal menurut teori waktu sekolah dulu, cerita yang bagus itu yang alur ceritanya susah ditebak sehingga yang mengikuti di buat penasaran. Lebih bagus lagi kalau ada suatu ending cerita yang mengagetkan sekaligus menyisakan “tanya”. Jadi para pembaca atau audien dilibatkan partisipasinya untuk aktif memperbincangkan cerita yang disajikan sampai-sampai “penikmat sastra” harus berdiskusi untuk “menyelesaikan” cerita yang bisa jadi berbeda-beda endingnya dikarenakan perbedaansudut pandang dan persepsi.
Ingin rasanya melihat sinetron yang smart atau mini seri yang smart. Saya masih ingat miniseri MacGiver yang kondang saat itu. Dia smart gitu loh. McGiver mampu mengatasi kesulitan dalam kondisi sulit sekalipun meski pemirsa agak emosi karena kepintarannya. Tapi emosi itu kalah dengan kecerdikan yang ditunjukkan tokoh ini. Kira-kira apa ya miniseri atau sinetron Indonesia yang smart?
1 komentar:
Sinetron Indonesia yg smart? He he he... Mimpi kalee....
Posting Komentar